Menyambut Era Emas Hitam Yang Semakin Hitam



Malam itu penulis dibuat kaget. Ketika sedang asyik berjalan-jalan dengan keluarga, tiba-tiba dikejutkan dengan pertunjukan yang tidak biasa. Bukan, bukan pertunjukan sirkus kuasa hukum yang loncat dari Monas lalu disoraki sebagai bahan gratis tontonan rakyat. Sekali lagi bukan, wong tempatnya saja beda. Ini bukan di Monas, ini di POM bensin, jauh pula.

Pertunjukan yang penulis maksud adalah adanya antrean mobil yang mengular persis seperti di Jakarta, persis. Bedanya, di sini jarang ada motor saja. Semua mengantre isi BBM, seperti takut kehabisan, bahkan banyak Arabian yang membawa galon besar-besar. Ada apa ini?

Ternyata, mulai malam itu, harga BBM di negeri Qatar resmi dinaikkan. Bensin kelas super RON 97 naik 30% dari QR 1/liter menjadi QR 1.3/liter, kelas premium RON 90 naik 35% dari QR 0.85/liter menjadi QR 1.15/liter. Walah kirain ada apa, memang kenapa harus kaget-kaget begitu, bukannya di Indonesia sering banget?

Ya, jika itu di Indonesia, tapi ini di Qatar, negeri yang diklaim memiliki sumur gas abadi terbesar dunia dan cadangan minyak yang juga masuk 10 besar. Lagi pula, naiknya harga ini bukan cuma di Qatar, tapi juga di Gulf Country (GC) lain, seperti Saudi, Bahrain, dan Kuwait, di mana harga BBM lebih murah dari air mineral 1,5 liter.

Di dunia migas, perang harga minyak masih terus berlanjut. Perang yang melibatkan dua kubu; kubu OPEC dan USA. OPEC dengan minyak konvensional dan USA dengan shale oil. Dari USA telah banyak jatuh korban, lebih dari 30 perusahaan drilling minyak ditutup, ratusan perusahaan rantai pasok gulung tikar, operator-operator migas raksasa semacam Chevron, Exxon, dan Total Prancis harus merelakan ribuan gugurnya kontrak karyawan atau memotong gaji tahunan karyawan tetap. Dunia migas miris, perih teriris.

Hal itu berlaku juga bagi kubu OPEC, tetapi tampaknya kekuatan luar biasa OPEC masih mampu menahan dirinya dari jatuhnya korban. Saudi Aramco masih bertahan meskipun Saudi keteteran juga dengan terpaksa menerbitkan obligasi untuk menutupi kasnya. Qatar Petroleum sempat berdarah-darah. Demikian juga dengan Adnoc Abu Dhabi, belum jika menghitung banyaknya perusahaan rantai pasok dari Iran dan Venezuela.

Tapi, tolak ukur kemapanan OPEC dilihat dari seberapa kuat Negara GC mempertahankan harga BBM. Dan sekarang itu pun jebol, subsidi mulai ditarik perlahan yang artinya krisis harga minyak dunia akan semakin berlanjut.

Bagaimana dengan Indonesia?

Penulis secara tidak langsung mendapat ucapan "selamat" dari rekan-rekan di GC karena Indonesia justru menurunkan harga BBM di saat yang lain sibuk menghitung berapa kenaikan harga. Mungkin mereka masih berpikir bahwa Indonesia adalah eksportir, sehingga sedikit ironis ketika harus menyebut bahwa Indonesia saat ini adalah net importir, bukan exportir lagi. Sedih, tapi juga merasa beruntung.
Beruntung, karena di saat krusial ini, justru Indonesia diuntungkan dengan turunnya harga minyak. Sebagai importir, Indonesia bisa membeli minyak di harga murah. Lagi pula Indonesia sudah mengalami kenaikan harga minyak yang cukup tinggi.

Mari lihat grafik di bawah.



Coba lihat, Indonesia sudah resmi menjadi net importir sejak 2004. Di luar hitung-hitungan, apa yang dilakukan oleh Pemerintahan SBY sudah sejalan dengan konsep importir, harga minyak dunia yang naik 390% dari 2002 ke 2008 masih bisa diredam dengan kenaikan BBM jauh di bawah itu (175%) dengan subsidi.

Termasuk jika subsidi itu dicabut oleh Presiden Jokowi yang secara logika itu masuk akal jika aliran dana dari pencabutan subsidi ini betul-betul untuk infrastruktur. Karena, ketika harga minyak dunia jatuh, yang harus dilakukan adalah membeli minyak sebanyak mungkin dan untuk ini Presiden sudah melakukan gerak cepat dengan instruksi.

Masalah kemudian muncul, mau ditaruh di mana?

Solusinya: storage. Inilah mengapa Pertamina menggenjot banyak pembangunan fasilitas penyimpangan (storage), seperti yang sedang berjalan di Pulau Sambu dan Pulau Udang, untuk memperbesar jarak simpan dari 15 hari menjadi 30 hari, bahkan 2 bulan.

Pandangan yang berseberangan dengan Menko Kemaritiman, padahal kita selalu direpotkan dengan biaya distribusi migas yang membuat harga BBM kita selalu di atas Malaysia, Indonesia disuruh sewa storage di luar negeri, untuk jangka pendek oke, untung jangka panjang? Mengerikan.

Meskipun butuh dana hingga 30 triliun, tapi inilah infrastruktur. Storage pun infrastruktur. Bukan cuma jalan raya atau rel kereta api. Justru ketahanan energi jauh lebih penting daripada kereta api cepat Jakarta-Bandung yang cuma berguna untuk plesiran.

Jadi, penurunan harga BBM 500 perak pada awal bulan lalu sejatinya hanya mengikuti fluktuasi meskipun dampaknya tidak terlalu besar tapi arahnya sudah benar, hanya bilangannya yang masih dipertanyakan.

Justru yang dinanti ialah ketika storage baru itu sudah jadi, sudah efisien dan konsep “simpan 30 hari” itu tercapai, apakah pemerintah berani menurunkan harga BBM di bawah si tetangga Malaysia? Itu pun kalau belum terlambat, storage belum jadi, eh harga minyak naik lagi... Apes deh  

1 komentar:

  1. Saya stuju jika dana yang ada digunakan untuk storage ketimbang KA cepat..sip pak

    BalasHapus