Donald Trump dan Ahok, Dua "Kegilaan" yang Fenomenal


Ada yang unik di Amerika Serikat. Negara yang disebut merupakan bapaknya demokrasi dan kebebasan, ternyata mengalami fears of excess. Mereka takut menghadapi sebuah fenomena yang akan menyeret AS kedalam “lubang” anti-demokrasi. Fenomena itu bernama Donald Trump. Seorang multi-milyuner sekaligus megalomania yang memiliki garis politik sebelah kanan.

Trump begitu menakutkan bagi sebagian besar politikus, pengusaha, dan masyarakat bukan hanya di AS, tetapi juga dunia. Pernyataan soal kebenciannya kepada muslim hingga ingin mengusir muslim dari AS, pengurangan imigran, pernyataan soal Tiongkok dan ide untuk meminta pemerintah Meksiko membangun tembok batas adalah bentuk kontroversi yang diciptakan. Dan itu baru sebagian dari banyak ide kegilaan Trump yang diungkapkan secara bangga.

Menakutkan? Ya jelas, isu agama Trump sudah pasti mengarah kepada konflik Timur Tengah di mana konflik di sana adalah konflik yang yang mahapelik. Sudah hampir dipastikan Timur Tengah akan semakin parah dan pada akhirnya beberapa negara seperti Syria dan Turki akan jatuh ke tangan AS seperti Irak berikut semua ladang minyaknya. Sebagai gambaran, sampai saat ini AS belum mampu menekan harga produksi shale oil ke titik ekonomis. 

Namun hebatnya, saat ini Trump mampu unggul dalam pemilihan calon presiden AS dari partai Republik, bahkan mendominasi. Dominasi Trump menciptakan ketakutan sehingga mendorong pesaing lain dari Republik, yaitu Ted Cruz dan John Kasich bergabung, membentuk kesatuan untuk melawan Trump. AS boleh jadi mengekor Indonesia dalam games "haters-lovers" sehingga bolehlah jika disebut jargon “Asal Bukan Trump”.

Sebegitu berbahayanya Trump sekaligus sebegitu istimewanya Trump, sehingga banyak sekali pendukungnya. Bahkan mungkin Trump akan menjadi the next president. Mengapa Trump yang berbahaya itu disukai? Untuk memahami, ada artikel menarik dari Prof George Lakoff, seorang profesor ilmu Kognitif dan Linguistik yang berjudul “Why Trump?”. Silahkan menyimak artikelnya DISINI. Artikel Lakoff pernah juga dibahas oleh Dahlan Iskan.

Di situ intinya, Trump adalah seorang Republikan sejati. AS terbagi dari dua partai utama, Partai Republik yang beraliran konservatif dan Demokrat yang beraliran progresif. Tidak seperti di Indonesia di mana partai bisa seenak perutnya bermanuver, di AS partai melambangkan ideologi, bukan hanya ideologi partai itu sendiri, tapi juga ideologi turun-temurun yang dibawa oleh anggotanya.

Di sini Trump merupakan hasil didikan konservatif tulen. Dalam sistem konservatif, ayah adalah segalanya, tumbuh dalam kedisplinan. Sama seperti jika kita melihat RA Kartini yang harus manut dan nurut apa pun titah sang ayah, termasuk menikah dengan seorang yang sudah beristri tiga.

Bedanya di AS, sisi konservatif mengambil budaya Amerika yang tembak langsung, sama seperti olahraga populernya: American Football ataupun filmnya yang selalu mengandalkan gaya Silvester Stallone, dar der dor, jagoan menang. Jika kalah, dipastikan dia tidak akan populer.

Budaya konservatif menganggap berpikir komprehensif itu buang waktu. Apa yang dianggap salah ya di benarkan, apa yang tidak sesuai keinginan ya harus disesuaikan kalau perlu dengan kekerasan. Jadi kalau Turki menolak ya diprovokasi, dikuliti, kemudian digempur. George Bush, tokoh utama di balik serangan Irak, adalah contoh tulen berdarah konservatif dari partai Republik.

Di sinilah Trump mendapat dukungan dari banyak masyarakat AS yang merindukan pemimpin murni konservatif. Mereka merindukan kembalinya hegemoni kulit putih dan anti-imigran, hegemoni kebebasan menjadi raja dunia, kulit berwarna adalah pengganggu. Jangan lupa, kondisi apartheid, ras, agama tidak hilang begitu saja di AS. Sejarah membuktikan bahwa AS adalah negara yang paling rasis.

Lalu, apa hubungan dengan Ahok? Hubungannya adalah fenomena masyarakat.

Trump dan Ahok, sama-sama lugas, ceplas-ceplos, punya daya tahan yang tangguh untuk menjadi pemimpin, memiliki visi-misi yang menggebrak, tak peduli orang lain suka atau tidak. Sifat demikian adalah sifat yang positif dari sisi pelaksanaan namun lemah dari sisi komunikasi.

Kelemahan itu menimbulkan ketidaksukaan dari banyak pihak, entah kepentingan politik atau kepentingan pribadi. Sehingga timbul jargon “Asal Bukan Ahok” lalu berlanjut “Asal Bukan Trump”. Tapi di sisi lain muncul fakta yang menarik, kelemahan itu justru menimbulkan pihak pro yang fanatik. Fenomena pertama muncul: masyarakat suka.

Sederhana, masyarakat ingin sosok pemimpin yang memiliki gebrakan, lugas, respons cepat secepat viral WhatsApp, bosan retorika, muak pencitraan kalem klemar-klemer modal senyum asal lip service. Trump dan Ahok mengakomodasi itu. Trump dengan idenya dan Ahok dengan tindakan. Dua-duanya nekat.

Fenomena berikutnya: Trump bukan tokoh politik, dan Ahok jalur independen. Ini merupakan kekuatan utama keduanya di mana masyarakat sudah muak dengan partai politik yang korup.
Tapi ada perbedaan.

Trump berlatar belakang konservatif sedangkan Ahok berlatar belakang progresif. Trump membenci perbedaan (imigran, muslim dsb) sedangkan Ahok justru sebaliknya karena dia adalah minoritas, ya tak mungkin minoritas lantas membenci mayoritas, jika ingin hidup ya harus beradaptasi kan? Logis.

Trump berambisi menguasai dunia secara terbuka, sebuah ambisi yang berbahaya sehingga banyak yang mengecam, termasuk rencana pembatasan ekspor Tiongkok ke AS dan isu politik mata uang yang bisa berakibat pada goncangnya ekonomi Tiongkok, goncangnya Tiongkok akan berdampak pada global, terutama Indonesia. Di sini Trump sudah berlevel “madness”.

Ahok, tidak ditemukan indikasi seperti Trump, misal: Ingin mengusir etnis tertentu, atau melarang kenikmatan muda-mudi pacaran sambil bermotor-ria, tidak. Meskipun banyak kontroversi, tetapi masih dalam batas.

Tindakan lugas Ahok masih diikuti oleh pemikiran, contoh relokasi, harus diikuti adanya ruang pengganti yang layak, rusunawa pun di bangun. Ada masalah dalam pelaksanaan? Ya pasti. Kita pindahan rumah saja sudah banyak masalah, apalagi memindahkan satu kampung?

Tindakan Ahok yang progresif sebetulnya dimulai oleh langkah Presiden Jokowi ketika menjabat wali kota Solo dan gubernur DKI lebih dulu. Beda dengan Foke atau Mantan Presiden SBY yang bermain aman, Jokowi bersifat progresif dan ternyata masyarakat suka. Ahok menangkap fenomena itu, tinggal melanjutkan dengan gayanya.

Apakah Trump bisa menang?

Di AS, Trump memiliki pesaing, yaitu Hillary Clinton. Hillary yang sangat cerdas tentu mewakili kaum AS yang menghendaki perubahan ke arah perdamaian, diplomasi dan liberal. Hillary adalah penentang kebijakan Bush ketika menginvasi Irak. Meskipun tidak terlalu revolusioner, toh setidaknya Hillary bisa melanjutkan Obama, sesama jaket Demokrat.

Obama terpilih dua kali, itu membuktikan masyarakat AS mayoritas mulai berpikiran progresif, sudah meninggalkan budaya kuno, menganggap isu agama dan warna kulit adalah isu sampah. Logisnya, dari sini Trump sulit menang, kecuali keinginan AS terhadap gerakan konservatif dari tokoh nonpolitik begitu besar.

Apakah Ahok bisa menang?

Di Jakarta. Saat ini Ahok belum punya pesaing yang signifikan secara kualitas, Yusril masih dianggap tokoh konservatif lama yang mencari panggung. Sandiaga yang bermain apik terlihat kurang greget, kurang mewakili masyarakat Jakarta yang hidupnya “garang”. Pun dengan tokoh-tokoh lain, pesaing Ahok ada, tokoh progresif ada, tapi tidak di Jakarta.

Andaipun partai politik ingin menggaet tokoh progresif tadi untuk bertarung di saat sekarang, masyarakat Jakarta lebih dulu bertanya, langkah oportunis macam apa lagi ini? Partai dianggap hanya ingin berkuasa. Hasilnya bisa ditebak, masyarakat menolak, muncul ilmu cocokologi, calon A lebih cocok di kota A, calon B cocok di kota B, dll persis seperti paguyuban Mak Comblang. Dari sini, persepsi publik mulai mempengaruhi pasar, ujungnya adalah si calon ditarik lagi ke kota asal atau justru menarik diri dari pencalonan.

Sama dengan AS, terpilihnya Presiden Jokowi membuktikan mayoritas masyarakat Indonesia sudah berpikir progresif, isu SARA yang diangkat untuk menjatuhkan Jokowi dahulu, justru meningkatkan pamornya dan jangan lupa, Jakarta adalah barometer yang utama, terlepas siapa yang menggulirkan isu tersebut. 

Terakhir, masyarakat Indonesia sudah muak dengan unsur partai politik, fair harus diakui bahwa langkah Ahok melalui jalur independen adalah angin segar. Selama Ahok tidak terbukti korupsi oleh KPK, maka probabilitas kembali menjabat gubernur DKI adalah cukup besar.

Jadi, jika di AS beredar “Asal Bukan Trump” adalah beralasan, jargon di Jakarta “Asal Bukan Ahok” perlu dipertanyakan.

Artikel di muat di kompasiana , disini

Beginilah "Transkrip Asli" AADC2, Inilah Kenapa AADC2 Layak Di Bully

"Lihat tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi" - M. Aan Mansyur -

Apakah Rangga benar telah membohongi cinta untuk satu purnama, yang kenyataannya adalah 168 purnama? Tanpa meninggalkan pesan apapun?

Mbak Mira plis wake up, Rangga pergi ke Amrik itu di tahun 2002, tahun itu udah ada Friendster, udah ada henpon dan udah ada email, memang sih fesbuk belum ada, Zuckenberg masih unyu2 ngedekem di kamar kos uprak aprik calon fesbuk, tapi ya mbok jangan senaif itu.


Penulis gak percaya bahwa Rangga bisa gitu aja ninggalin Cinta. Preketek!! Lagian buat cewe, mana ada cewek yang udah di cipok bibirnya sak nyo-nyoh gitu terus gak cari tahu di mana lelakinya, apalagi sampai ngibulin satpam bandara, that's no sense!


Penulis yakin Rangga punya alibi yang jauh lebih prinsipil dari itu dan untuk itu, penulis rela mencari apa alibi sebenarnya. Hingga akhirnya menemukan sebuah kenyataan yang selama ini tersembunyi, kenyataan dalam percakapan yang di duga asli antara Rangga dan Cinta di sebuah kafe di Jogja. Kenapa di Jogja? Inipun masih absurd di bahas dalam rapat pleno, jadi lupakan. 

Eng ing eng.. beginilah percakapan aslinya.

***

Di sebuah Kafe sepi nan romantis di Jogja

"Maaf, yang aku lakukan ke kamu itu..gak adil.." Ujar Rangga lirih. Udara diluar begitu dingin, menyisakan keheningan yang tampak abadi.

"Rangga, yang kamu lakukan ke aku itu..jahat." Tukas Cinta. Matanya menyiratkan sebuah kekecewaan, penyesalan dan amarah, membuat Rangga kikuk. Kasihan lelaki selalu mati kutu kehabisan jurus ngeles, apalagi kalau berhadapan cewek cantik. Huh.

"Aku punya alasan, aku gak senaif itu untuk ngelupain kamu.. Apalagi di bandara, it's so crun..eh so sweet Cinta."


"So crunchy maksud kamu? Gak nyangka ya, hidup di Amrik udah bikin kamu beda..beda banget!"

"Maaf Cinta, tapi kamu harus dengerin aku dulu.."

"Yaudah, apa? Dengerin alasan gak jelas kamu yang amat sangat tidak prinsipil? Gilak!" Ujar Cinta sambil menirukan gaya Rangga 14 tahun yang lalu.

"Justru ini sangat prinsipil" Tegas Rangga sambil menyipitkan mata, menusuk ke ulu hati Cinta yang sedari awal memang penasaran.

"Aku gak bisa jelasin ke kamu dari awal." Sambungnya. "Aku gak respon invite-an kamu di Friendster, aku gak jawab inbox email kamu dan beratus-ratus telpon interlokal kamu, itu aku sengaja..karena aku..." Ucapnya, kali ini dengan wajah menunduk.

"..Aku apa..? Gak usah berpuisi deh, gue udah eneg! Cepetan jelasin!" Kejar Cinta bagai menginjak ranjau perang dunia.

"Cinta, aku lagi buka usaha! Aku buka usaha yang menurut cewek kayak kamu itu pasti memalukan! Aku motret itu cuma hobi, cuma buat kamuflase aja supaya tetep di anggep keren.."

"Hah! ngomong apa sih kamu Rangga?" Tanya Cinta kaget. "Udah ya, aku udah disini, duduk satu meja, nyeruput kopi, cuma buat ngedengerin ocehan kelas Amrik yang tahu-tahunya cuma bo'ongin orang, gitu?" Kejarnya.

"Makanya dengerin, aku terpaksa bohong, karena aku malu.."

"Malu kenapa? Emang kamu usaha apa? Ceritalah, gak usah pake melodrama kayak gitu, aku masih banyak nih chat-chat, path, snapchat yang belum di update, udahlah jangan kita buang waktu."

"Aku jualan cilok" Ujar Rangga mantab, sambil menghembuskan nafas yang panjang, bebannya selama 14 tahun ini seperti terhempas keluar, bagai bebas dari penjara gunung Sindur.

"Hah, cilok?" Cinta tercenung.

"Iya cilok, 2 tahun awal sejak kita ketemuan di bandara, aku bereksperiman dengan berbagai komposisi cilok dan ternyata cilok ku banyak yang suka di Amrik, gak cuma orang Indo lho, tapi juga orang Eropa, orang latin, eh orang Amriknya sendiri suka banget cilok..aku pake ikan tenggiri asli, jadi beda." Rangga menjelaskan dengan bersemangat.

"Aku..aku suka banget cilok." ujar Cinta dengan mata melankolis.

"Nah, aku tahu banget kamu suka cilok, gak..gak usah tanya aku tahu darimana, pokoknya aku tahu..Nah 12 tahun terakhir aku kembangin cilok dari Amrik dan cilok ku ini sekarang udah di ekspor kemana-mana, udah ada 138 angel investor yang antri mau nampung, termasuk Ted Cruz dan Donald Trump. Kamu tahu kan waktu pendemo Trump yang rusuh itu? Itu orang-orang suruhan Cruz, waktu demo mereka nyemil-nyemil pake cilok ku lho." Jelas Rangga dengan mimik bangga.

"138?..Donald Trump? Kamu..kamu sehat? Kamu gak lagi bo'ong kan Rangga?"

"Aku sehat dan ngapain bohong Cinta, kamu bisa tracking semua perusahaan cilok ku dari gadget. kamu bisa tahu itu palsu atau betulan, apa ada di Panama Papers atau enggak, apa yang susah hari gini?"

"Iya sih ya.."

"Nah dari kasus Cruz itulah, akhirnya aku sadar bahwa cilok itu sangat filosofis..filosofis politiknya kental."

"So?" tanya Cinta sambil mengernyitkan kening.

"So? Cinta..cinta, masak cewek sepinter kamu gak ngerti sih? Aku mau pulang ke Indonesia, Harry Tanoe lagi rebutan sama Aburizal untuk jadi angel investor utamaku di Indonesia, tentunya pake label politik.." Ujar Rangga sambil tersenyum.

"Ooh..hmmm...jangan-jangan kamu.." Cinta menebak-nebak.

"Ya, aku mau nyalon jadi Gubernur DKI"

"Haaah!!"

"Gak usah kaget gitu lah, biasa aja."

"Oh ya, maaf..aku kira tadi kamu cuma mau buka warung cilok di Tebet atau PIK, kan lagi hits tuh"

"Ya, itu juga. Udah saatnya aku pulang, aku mau bawa semua usaha cilok ku ke Indonesia, aku mau kerja cerdas, semua orang suka cilok dan aku ingin mencilok-kan Jakarta, kalau pak Jokowi punya jurus dialog meja makan, aku punya jurus dialog dengan cilok." Kata Rangga.

"Maksudnya?"

"Dengan dialog, semua warga penggusuran bisa di relokasi dengan lebih damai, tentu aja sambil makan cilok, reklamasi teluk Jakarta bisa diomongin baik-baik sama nelayan, sama pengusaha, sama LSM sama bu Ratna biar gak berisik, tentunya sambil kongkow makan cilok, bukannya manusiawi tuh" Jelas Rangga dengan mata berbinar-binar.

"Terus kampanye kamu gimana? Orang udah isu agama lho sekarang" tanya Cinta spontan.

"Ngapain pake isu agama? bukannya yang Islam, yang Kristen, yang Hindu, Budha bla bla bla, semua juga suka cilok?" Tanya Rangga dengan percaya diri.

"Orang pake jurus agama karena udah mati gaya gak punya ide yang orisinil dan smart. Jangan samain aku dong, dulu di SMA aja aku paling beda kan..Nah, caranya..dialog lah Cinta, dialog dengan cilok.." Sambung Rangga semakin mantap.

"Gilak..gilak..you are crazy smart..ah gilak, ini kayak bukan Rangga yang aku kenal." Ujar Cinta semakin sumringah, matanya berbinar seperti melihat Obama versi kulit putih.

Rangga pun tersenyum, tentunya hanya sisi kiri bibirnya yang diangkat. Senyum khas Rangga yang 14 tahun yang lalu pernah membuat kaum remaja wanita terpana, dan kami yang pas-pasan ini semakin merana.

"Oya dua lagi. satu aku mau bikin Citor, Cilok Motor, jadi kayak ojek online, cuma semua penumpangnya sambil makan cilok supaya santai, kedua mungkin aku butuh perkapalan untuk ekspor impor cilok, dan aku tertarik Adigung Shipyard." Ujarnya.

"Hah..itu kan perusahaan suamiku, gilak kamu Rangga, emang gak ada yang lain apa?..efek bales dendam??" Semprot Cinta.

"Ada, tapi punya suami mu adalah yang paling menarik. Oya sekalian aku mau tanya, dulu..kenapa pas aku di Amrik justru kamu kawin sama orang itu?"

"Huuh...ya...karena aku..karena aku....aku butuh, aku butuh eksis di duniaku, aku butuh hidup yang lebih, dan aku gak bisa cuma ngandelin ijazah psikologi Rangga, kamu ngerti kan?" Jawab Cinta.

"Kepepet hutang?"

"Aku realistis! Gak mungkin aku cuma berkhayal nunggu kamu selama 14 tahun, gak mungkin..temen-temenku udah pada nikah, pada punya anak, punya kehidupan. Dan pria itu, bisa buat kehidupan aku lebih ...yah..lebih..."

"Lebih eksis? Lebih glamor? Dasar gak punya kepribadian."

Cinta hanya diam kali ini, tidak seperti 14 tahun yang lalu ketika dirinya memberontak ketika Rangga berucap hal yang sama.

"Tapi Rangga, aku cuma cinta sama kamu." Tiba-tiba Cinta mengendur.

"Aku..mungkin enggak bahagia secara batin sama laki-laki yang sama aku sekarang, dia cuma ngewarisin usaha turun temurun, sedang kamu, usaha cilok dirintis dari bawah, aku salut, aku bakal dukung kamu mati-matian untuk ngalahin Ahok, followers aku jutaan, dan aku cuma nunggu kamu..apalagi....kamu sekarang sukses"

Rangga cuma tersenyum pahit, sepahit flat white tanpa gula yang dia seruput.

"Rangga.."

"Ya.."

"Kamu mau kan..sama aku lagi." Cinta menunduk malu. "Kita..ya kita jalanin dulu, sambil aku cari cara minta pisah sama suamiku sekarang..' ujar Cinta penuh harap

"Cinta..aku sih mau, kamu cantik, tetep smart walau agak matre, tapi matre bagi aku itu wajar..hmm.." Rangga mengetuk-ngetuk jarinya di meja kafe, suasana yang dingin menjadi semakin dingin saja.

"So?" Kejar Cinta.

Rangga kembali menyeruput kopinya, sambil memandang lukisan di kafe tersebut, Rangga seperti masih mencari cara mengungkapkan sesuatu.

"Cinta..maaf, aku sudah ada yang punya..selama 14 tahun aku merintis usaha cilok, supaya bisa dapetin cewek kayak kamu buat selamanya, dan...aku denger kamu udah nikah, terus terang itu berat buat aku.." Rangga berucap sambil menatap Cinta lekat-lekat. "Aku enggak bisa."

Cinta melongo tak percaya. Cinta, wanita yang menjadi idaman dan khayalan lelaki normal di seluruh Indonesia itu harus menghadapi kenyataan bahwa dia baru saja Di TOLAK! Sebuah kata yang belum pernah didengarnya, apalagi di rasakan.

"Sekali lagi maaf Cinta, kita sama-sama gak bisa nunggu selama itu, kita bukan tipe penanti 14 tahun tanpa hasrat biologis." Ujar Rangga. "Dan itu manusiawi" Sambungnya mantab.

Tanpa sadar Cinta mengangguk, tapi dirinya masih bisa belum menerima, lebih karena perasaan cinta, harta dan tentunya gengsi.

"Eh iya ta, sebentar lagi dia dateng kok, dia mau jemput aku disini..nanti kamu bakal ketemu..atau.."

Cinta hanya terdiam, air matanya mengambang, namun sekuat tenaga di tahannya. Sebagai seorang sosialita secantik dirinya, ditolak adalah hal yang musykil, hanya Matahari yang terbit di barat yang mampu menolak cintanya.

Tiba-tiba dari ujung pintu, suara langkah kaki terburu-buru masuk ke dalam kafe, terlihat seorang berperawakan kurus, semampai dan..

"Nah itu.." Ucap Rangga sambil menengok kebelakang.

Cinta menoleh kearah pintu kafe, apa yang dilihat sungguh diluar dugaan, sangat luar biasa. Cinta semakin melongo, dia kehabisan kata-kata, jantungnya seketika berhenti berdetak, rasanya dia harus berteriak saat itu juga.

"MAMEET???!!!!.."

Cinta pun tak sadarkan diri.



***

Demikianlah transkrip yang diduga asli dari sepenggal kisah AADC2 - Ada Apa Dengan Cilok 2 -, mungkin setelah ini penulis akan meliburkan diri dahulu dari dunia tulis menulis hingga pikiran kembali kondusif.

Salam dan selamat berakhir pekan.

Menelaah "Solusi Macet" Ala Ust. Yusuf Mansur..Maaf..Ustad Sehat?


Ustad belabel artis, ustad berlabel pengusaha, ustad berlabel politikus ataupun sebaliknya memang sedang booming bak batu akik. Apalagi Ustad yang berlabel tiga istilah itu sekaligus, pasti menarik, terutama bagi golongan ukhti-ukhti dengan predikat mama muda dan juga penulis yang bergolongan papa muda. Salah satunya adalah Ustad Yusuf Mansur.

Tapi, sang ustad idola, baru-baru saja dengan percaya diri melontarkan pernyataan yang menurut hemat penulis, lebih pantas dikeluarkan oleh calon pemimpin Jakarta yang kemungkinan kecil akan berhasil. Memang sih, sang ustad ini pernah ikut ber-riang gembira dalam bursa bakal calon gubernur namun akhirnya mundur, mungkin karena sadar lebih baik ber-dakwah sambil tetap berbisnis. Tapi tetap saja power of sindrom dari sang ustad ini kok kayaknya belum luntur. Apa sih omongaannya?
Ada tiga point intisari ucapan sang ustad:
  1. "Maka kita bisa meminta anak SD, SMP, dan SMA untuk enggak usah pulang sekalian dari sekolahnya,".
  2. Semua sekolah di Jakarta bisa dijadikan boarding school atau sekolah asrama. Rumah-rumah di sekitar sekolah bisa dimanfaatkan menjadi asrama siswa.
  3. Semua pembiayaannya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Yusuf yakin kebijakan itu akan menekan angka kenakalan pelajar di Jakarta.
"Jakarta bukan cuma zero macet, tapi juga zero tawuran, dan zero nongkrong," ujar Yusuf.
 Dengan kebijakan itu, kata Yusuf, bisa menjamin Jakarta tidak macet karena tidak ada kegiatan pergi dan pulang sekolah.(www.kompas.com)

Nah, sudah terkejut? Mari kita telaah point per point:

Point pertama, ini jelas mengusik ketenangan para ukhti dan mama muda yang anaknya masih bersekolah di SD, SMP dan SMA. Betapa tidak? Dengan anak ada dirumah pun, para mama ini begitu pusingnya memikirkan soal anak. Berikut kepusingan para mama yang bisa kami rangkum:

A. Pusing bagaimana memberi gizi anak dengan baik ditengah kalutnya harga daging, bawang dan cabe merah.  

Orang tua adalah pihak berwajib yang paling mengetahui kondisi kesehatan anak. Penulis sewaktu kecil pernah merasakan bagaimana pertempuran harga antara sang mama dengan penjual daging dan ikan di pasar. Satu kata-katanya: “Ya biar pas-pasan, yo kamu tetep makan ikan daging, biar pinter”. Demi kata-kata itu, sang mama rela berjibaku, bahkan kalau perlu baku hantam demi harga bintang satu, gizi bintang lima.

Lalu sekarang gizi dan kesehatan anak ingin di bebankan kepada pihak lain? Ini sebuah bentuk mosi tidak percaya kepada kedaulatan sang mama yang masih mampu menanggung gizi anaknya. Jelas tidak dapat terima.

B.  Pusing memikirkan pergaulan anak, antara gadget dan teman nyata

Sudah bukan basa-basi lagi kalau si anak saat ini adalah obyek penderita dari hasil teknologi. Mari kita lihat beberapa sisi negatif gadget terhadap anak.
  1. Anak menjadi kurang peka terhadap lingkungan, berakibat pada egoisme.
  2. Pornografi
  3. Kekerasan, efek dari game
Bahkan yang anaknya rajin dirumah saja, para orang tua masih sulit mengontrol, apalagi jika anak enggak pulang sekolah? Apakah sang ustad bisa menjamin bahwa usaha rental internet tidak menjamur?

C. Pusing memikirkan keamanan

Nah, ini tidak perlu panjang x lebar. Anak pulang sekolah pun ada saja kekhawatiran orang tua, memang ada alasan beberapa ustad yang menyerahkan anak sepenuhnya pada Allah karena anak adalah titipan. Tapi ya enggak begitu caranya, apakah setelah dititipi lalu orang tua lepas tangan?
Tidak, justru harus dirawat sempurna bukan?

Paranoid? Bukan, bukan karena paranoid para mamah akan pusing begitu, tapi memang belum ada kepastian keamanan di ibukota. Dari perampokan, kekerasan hingga penyimpangan seksual.

D. Pusing memikirkan agenda gaya hidup

Sudah jamak bahwa para mama memiliki agenda tetap yang menunjang ke-eksisan mereka, salah satunya di sekolah anak. Sekolah sudah menjadi bukan hanya rutinitas tetapi juga ajang ber-ekspresi para mama muda dalam bersosialisasi, terutama yang berprofesi ibu rumah tangga. Mosok mereka harus dirumah terus, jangan dong, semua butuh teman. Dan sekolah anak adalah tempat nongkrong yang convenient alias pewe.

Lha kalau ini di ganggu gugat, lantas kemana pelampiasan hasrat sosial itu? Jangan justru bikin kantong para papa jadi makin kisut karena situasional tongkrongan pindah ke mall.
Jadi point pertama, mutlak orang tua adalah tiang pokok terhadap akhlak, mental, kesehatan, pendidikan dan keamanan sang anak apalagi masa SD adalah masa emas. Tidak terbantahkan.

Point ke-2, soal asrama. Mungkin sang ustad masih terngiang kenangan indah masa di pondok pesantren dulu, dan melupakan kenyataan bahwa dia sudah diluar area itu sekarang. Jangan disamakan pondok pesantren atau madrasah yang berada di lingkungan tertutup dengan asrama yang menggunakan rumah penduduk. Ini alasannya:
  1. Rumah penduduk berada di area terbuka, tidak ada ikatan batin antara pemilik rumah dengan anak sekolahan, siapa yang menjamin keamanan?
  2. Jumlah anak sekolah di Jakarta sebanyak: 1,572,112 orang anak dari SD kelas 1 hingga SMA kelas 3. Jika satu rumah menampung 2 orang anak, maka harus ada 786,056 rumah di seluruh penjuru DKI Jakarta yang bersedia dan layak menjadi rumah asrama. Ingat, sekolah SD hingga SMA tersebar di segala lingkungan dari elit hingga kumuh, apakah yang di kawasan kumuh mampu untuk menampung?
  3. Bagaimana dengan anak-anak si pemilik rumah "asrama", yang pastinya menyebabkan conflict of interest? Kalau yang level SMA, bisa jadi menimbulkan benih-benih cinta segitiga. Dan ini berbahaya.
Point ke-3, Pembebanan APBD. Untuk satu anak, DKI harus mengeluarkan sedikitnya 70 ribu/hari/anak dari biaya makan penuh gizi 3x sehari, biaya sewa rumah penduduk, hingga ongkos jajan. Jika dikalikan, ada 110 milyar rupiah per hari yang harus dikeluarkan DKI. Itu baru satu hari. Jika satu bulan (20 hari) maka akan ada pengeluaran 2,2 Trilyun rupiah per bulan dari kantong DKI. Maaf, semoga ustad sehat.

Tentunya dari semua hal diatas patut dipertanyakan ambisi sang ustad dibalik pernyataannya. Beberapa point yang di klaim akan berhasil:
  1. Jakarta akan zero macet, ya zero macet jika transportasi sudah dibenahi plus orang-orang Jakarta sudah tidak di Jakarta lagi.
  2. Zero tawuran, ya akan zero tawuran jika semua anak ber-gadget ria dan setiap rumah “asrama” menerapkan jam siang sambil bawa pecut.
  3. Zero nongkrong, maaf, ini yang tidak bisa. Ketiadaan orang tua disamping remaja adalah faktor utama hasrat 3-N: nongkrong, ngudut dan ngopi. 3-N adalah kenikmatan sejati di ranah percaturan anak kost dan asrama dalam merayakan kebebasan. Dan hati-hati, kebebasan bisa berujung kebablasan.
So, penulis dan juga para mama muda tadi sebagai fans dari ustad, menghimbau agar ustad kembali ber-syiar, berdakwah yang mencerdaskan bangsa, hindari polemik sengkarut politik karena politik bukan hanya meninggikan seseorang tapi juga menjatuhkan hingga kubangan lumpur. Biarlah itu milik Ahok, Yusril de-ka-ka yang memang menjadi pekerjaannya.

So, maaf..ustad sehat? 


Hati-Hati! Hindari Membaca "Skimming" dalam Media Sosial

Meskipun bisa dikategorikan penggila buku, namun bagi kita kaum kekinian yang selalu heboh dengan gadget, menamatkan 1 atau 2 buku dalam sehari adalah sebuah kepuasan tersendiri, sudah bisa dikategorikan cum laude, apalagi bisa 3 buku lebih dalam sehari, sudah berkategori Magna. Namun itu semua ternyata hanya apalah jika dibandingkan dengan Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir atau bahkan Fadli Zon yang bisa melahap 3-5 atau bahkan 7 buku dalam sehari tanpa kehilangan esensi.

Bagaimana mereka bisa membaca secepat itu? Tentunya mereka tidak membaca sambil nyambi cuci piring atau membantu ibu ke pasar. Mereka jelas fokus dan memakai teknik. Teknik yang disebut membaca cepat atau skimming.

Sedikit membahas pengertian, teknik membaca skimming adalah teknik membaca dengan kecepatan tinggi untuk mencari esensi bacaan tersebut tanpa harus membaca keseluruhan huruf demi huruf dalam bacaan. Terus terang bahwa teknik ini sangat powerful untuk meningkatkan konsumsi baca kita sehari-hari, penulis merasakan setelah aktif berlatih teknik skimming, dua buku tebal akhirnya bisa diselesaikan dalam satu hari, meskipun dengan susah payah.

Permasalahan kemudian muncul, teknik ini berkembang pesat dari semua golongan dan umur. Tapi sayangnya, teknik ini secara salah kaprah dipakai bukan untuk meningkatkan konsumsi bacaan, tetapi sebagai kambing hitam atas kemalasan otak mencerna suatu bacaan. Nah.

Terutama jika teknik skimming ini digunakan untuk mencerna bacaan dari sosial media. Lagi-lagi penulis harus menegaskan bahwa di sosial media, kerja jempol kita jauh lebih cepat daripada kerja otak kita. Apabila kedua hal tadi digabungkan yang terjadi adalah kekacauan.

Mereka, dan mungkin kita, sudah tidak peduli lagi dengan apa esensi suatu bacaan sebenarnya. Pembuktian lagi-lagi adalah Facebook, holy Zuckenberg! Facebook sudah berkembang bukan hanya lagi soal media pertemanan, atau sekedar basa-basi pamer habis khatam Qur'an atau sholat Tahajjud. Facebook sudah beralih fungsi sebagai media propaganda.

Facebook memiliki dua unsur propaganda, share tak terbatas dan body untuk artikel. Tidak ada batasan huruf dan tidak ada batasan share. Facebook mengizinkan semua itu. Kita berteman dengan siapapun di Facebook dan Facebook mengizinkan apapun aktivitas kita, meskipun hanya sekadar ber-like atau berkomentar di lapak teman A, bisa dibaca oleh teman kita yang B, meskipun antar A dan B tidak saling kenal. Dan tentunya oleh B di-share ke C, D dan seterusnya.

Dengan kemampuan jelajah yang sangat luas tak mengenal batas, Facebook memiliki kekuatan dan kecepatan tertinggi, nomor dua adalah Twitter. Dampaknya, kita tidak berfikir soal konten, kita hampir tidak pernah ber-tabayun, atau mengecek lagi kebenaran berita itu, kita hanya mentok pada judul dan isi sebagian artikel. Viral sudah menjadi candu dan kita dipaksa untuk mengikuti alur permainan sosial media: speed and spread, cepat dan menyebar.

Parahnya, hampir semua pengguna sosial media menggunakan teknik skimming dalam membaca berita yang entah di-share dari artikel atau media online. Karena apa? Karena takut kalah cepat, takut dianggap tidak update ataupun keinginan lain seperti menjatuhkan kawan (Ya! Kawan, bukan lawan) yang berbeda haluan politik. Sehingga apa yang di dapat tidaklah pernah utuh satu bagian tulisan.

Kita sering lupa bahwa sosial media sangat berbeda dengan buku fisik. Satu ciri khas: media sosial mengizinkan adanya timbal balik. Timbal balik berupa komentar. komentar bisa berupa hanya sekedar komentar, ide, kritik atau bahkan hinaan. Apa yang terjadi berikutnya adalah fatal: komentar kita, yang seringkali berupa kritik dan hinaan, sangat tidak berhubungan dengan isi artikel aslinya.

Sering penulis merasa kasihan dengan seorang artis sehabis posting status dagangannya lalu di komentari oleh para sosialita hijab sebagai riya'. Padahal dia sedang berdagang. Atau penulis sendiri yang pernah menulis soal Soekarno, justru dikomentari antek komunis dan mendukung poligami, ketika penulis tanya balik, dijawab karena ada tulisan Nasakom, Inggit dan Heldy Djafar. Atau ketika menulis bahwa BPK "ngaco" lalu di cap antek etnis tertentu, tanpa membaca paragraf akhir soal Kartini Muljadi. Tentunya ada yang salah.

Sehingga cukup sebuah kesimpulan. Tidak selamanya teknik skimming itu baik, teknik ini berbahaya diterapkan pada sosial media. Skimming atau membaca cepat, hanya layak diterapkan pada buku, stensil, majalah atau selebaran pamflet Pilkada. Dan butuh waktu latihan yang cukup lama untuk bisa membaca cepat tanpa kehilangan esensi.

Bahkan untuk buku pun, seorang Hatta pernah meminjamkan buku kepada temannya di Boven Digoel, ketika mengembalikan, Hatta bertanya apakah temannya sudah memahami apa isi buku tersebut. Jika belum, maka buku tersebut dipinjamkannya kembali hingga paham. Alasannya? Apabila hanya paham setengah atau tidak paham, dikhawatirkan justru akan membawa kepada tindakan yang berlawanan.

Untuk para Facebook-er, Kompasianer, Twitter dan apapun media sosial lainnya, bacalah utuh seluruh artikel jika anda sudah membuka artikel tersebut, bacalah perlahan, pikirkan setiap paragraf dan jangan berkomentar hingga anda betul-betul sudah mengerti isi tulisan, dan silahkan share jika anda memang paham.

Karena buku atau bacaan apapun, bukan hanya membuka wawasan dan informasi, tetapi juga representasi kepada aksi nyata. Maka berhati-hatilah dalam membaca.

Hepi wiken-

Mari Berpikir Waras Soal Sumber Waras (Part II)

Soal Sumber Waras ternyata begitu nikmatnya untuk digali, seminggu setelah tulisan Mari Berpikir Waras Soal Sumber Waras (Part I) muncul, ternyata update beritanya masih bergoyang, masih menjadi pertanyaan dan tentunya diskusi yang hangat. Selama diskusi itu sehat dan waras, kenapa tidak?

Setelah 6 point utama dalam Berpikir Waras Soal Sumber Waras, ada beberapa point pengembangan yang menjadi ganjalan baik penulis maupun pembaca (netizen).

1. NJOP

Seharusnya ini sudah tidak perlu diperdebatkan, karena jelas NJOP Sumber Waras yang dibeli Pemda mengacu kepada Jl Kiyai Tapa bukti sertifikat tertandatangan BPN. Bagaimana secara fisik? Sudah dikatakan, Ya, secara fisik tanah yang dibeli oleh Pemda berada di Jl Tomang Raya. Penulis memastikan ini karena pernah 5 tahun berada di lingkungan Grogol. Tapi lagi-lagi, dokumen BPN mengatakan jelas, tanah berada di Jln Kiyai Tapa.

Ini seperti tidak fair, seperti membeli bajaj seharga mercy. Secara waras penulis harus berkata, ya, ini tidak fair.

Mengapa demikian?

Karena sertifikat Sumber Waras yang saat ini merupakan pemisahan dari sertifikat sebelumnya, alias ada dua sertifikat. Untuk kenapa bisa ada dua, silahkan klik tautan berikut. Untuk ini penulis punya cerita, kebetulan beberapa tahun lalu pernah mengurus penjualan tanah keluarga yang dipecah menjadi 3 sertifikat, tolong diingat bahwa sertifikat dan Akte Jual Beli adalah bukti kepemilikan yang sah. Yang penulis urus adalah tanah yang bersebelahan langsung dengan akses Pamulang, tetapi di dalam sertifikat ternyata tertulis beralamat di Ciputat. Harganya tentu berbeda.

Tak perlu waktu lama penulis mendapat jawaban dari Dinas Pertanahan bahwa alamat mengacu kepada sertifikat induk karena berdasarkan Pernyataan Pemecahan Atas Nama Diri Sendiri. Diri sendiri dalam hal ini pemilik awal yang memecah sertifikat. Dan dalam hal ini pun PBB masih belum dipisah, alias masih satu atas nama.

Jadi jika lokasi Sumber Waras yang secara fisik berada di Jln Tomang lalu beralamat di Jln Kiyai Tapa, masuk akal karena awalnya memang tergabung dalam satu zona, satu sertifikat, tidak terpisah. Jika terdapat pemisahan atas nama diri sendiri, maka kembali kepada orang / pihak yang memiliki tanah tersebut, ingin mengikuti alamat sertifikat induk atau perbarui alamat. Mayoritas pemilik tanah akan mengacu kepada sisi yang lebih menguntungkan. Dan itu sangatlah wajar.

Jika BPK mempertanyakan ini, kami prihatin.

2. Pembayaran pada malam 31 Desember 2014

Jangan lagi membahas tunai, cash atau kredit. Apalagi sudah dianalogikan tidak mungkin membawa uang cash satu kontainer pada malam hari, kecuali anda bandar narkoba. Jadi lupakan istilah itu. Pembayaran merupakan transaksi internal antar nasabah bank. Bank-nya sama: Bank DKI, entah pakai uang lembaran 10 ribu, atau pakai cek lalu dicairkan ya sama saja. Sudah dijelaskan disini bahwa di akhir tahun Bank DKI lembur hingga 23:59 untuk melayani SKPD.

Logika kedua, terjadinya transaksi di malam itu adalah harga. Harga NJOP tahun 2014 tentu akan berbeda jika masuk tahun 2015.

3. Kerugian negara

Kerugian negara yang menurut BPK sebesar 191,3 milyar tiba tiba berubah menjadi 173 milyar setelah ada pemeriksaan dari DPR. Jelas jika angka 191,3 itu dianggap telah direvisi artinya apa yang diucap oleh ketua BPK itu "ngaco".

Ini seperti acara lawak ketika Sule ditelikung oleh Andre. Jika badan yang paling berwenang mengaudit di negara ini memberi pernyataan salah, lalu apakah masih bisa dianggap kredibel?

Apa mungkin beliau pengikut setia Descrates dengan "Cogito Ergosum"-nya? Aku berpikir maka aku ada, meskipun berpikir salah, yang penting eksis?

Nah, meskipun ketiga hal di atas sudah bisa dinalar, penulis bukanlah seorang pemain ataupun suporter. Sebagai pengamat pertandingan sekelas Ronny Patinasarani, maka harus ada sisi yang dikritisi.

1. Kadis Kesehatan Kusmedi,  dilantik pada 2 Januari 2015

Pernyataan Kusmedi: "Mungkin kalau tahu dari awal semuanya, mungkin kejadiannya nggak gini,". Sepertinya ini pernyataan yang agak menyesatkan, dan menjadi ambigu. Bisa dimaklumi karena Kusmedi baru dilantik 2 Januari 2015, pergantian yang cukup mendadak setelah pembayaran tanah.
Logika yang masuk akal, Dinkes memang tidak mengetahui (atau hanya Kusmedi?) bahwa tanah tersebut memiliki 2 sertifikat, tetapi secara niat tidak ada penyalahgunaan tempat, penyalahgunaannya dimana? Sekedar catatan, bahwa penetapan zona berada di Jl Kiayi Tapa sudah sejak tahun 1994. Disini.

Pertanyaannya, mengapa terjadi pergantian pemain setelah injury time? Apakah Ahok hendak mengikuti jejak Sir Alex Ferguson yang memasukkan Ole Gunnar Solksjaer dan berujung gol last minute ke gawang Bayern Muenchen?

2. Pemeriksaan Kartini Muljadi

Di hari Kartini yang mulia, beredar info beliau hanya menerima 355 milyar dari 755 milyar. Ambigu, bagaimana bisa dana yang terpotong. Pertama, berita ini hoax, karena tentunya KPK memiliki bukti pembayaran, cek, kuitansi atau apapun itu, baik dari rekening Pemda maupun rekening Sumber Waras. Kedua, berita ini benar meskipun kemungkinan kecil secara logika.

Seperti dalam Part 1, penulis masih berharap hasil temuan KPK terhadap adanya pertemuan Ahok / Pihak Pemda dengan Kartini Muljadi pada Juni 2014. Tentunya kaitan dengan penawaran harga Pemda. Point ini bisa gugur apabila Ahok / Pemda bisa meyakinkan KPK bahwa pertemuan tersebut hanya soal jual beli, sesuai Peraturan Presiden No 40 tahun 2014 Pasal 121 (silahkan download). Ya hanya soal jual beli, bukan penetapan NJOP.

Lho? NJOP sesuai lokasi sudah sejak 1994? Ya, kalau memang betul NJOP yang pada 1994 itu sama dengan NJOP saat ini. Namanya juga pengamat, skeptis tetap harus.

Jadi, skor sementara antara tim Lovers F.C dengan tim ABA United (Asal Bukan Ahok) adalah 3-2. Tenang, pertandingan masih berlangsung hangat dan seru, jadi skor masih memungkinkan untuk berubah.

-Cogito Ergosum-