Meskipun bisa dikategorikan penggila buku, namun bagi kita kaum kekinian yang selalu heboh dengan gadget, menamatkan 1 atau 2 buku dalam sehari adalah sebuah kepuasan tersendiri, sudah bisa dikategorikan cum laude, apalagi bisa 3 buku lebih dalam sehari, sudah berkategori Magna.
Namun itu semua ternyata hanya apalah jika dibandingkan dengan Bung
Karno, Bung Hatta, Syahrir atau bahkan Fadli Zon yang bisa melahap 3-5
atau bahkan 7 buku dalam sehari tanpa kehilangan esensi.
Bagaimana mereka bisa membaca secepat itu? Tentunya mereka tidak membaca
sambil nyambi cuci piring atau membantu ibu ke pasar. Mereka jelas
fokus dan memakai teknik. Teknik yang disebut membaca cepat atau skimming.
Sedikit membahas pengertian, teknik membaca skimming adalah
teknik membaca dengan kecepatan tinggi untuk mencari esensi bacaan
tersebut tanpa harus membaca keseluruhan huruf demi huruf dalam bacaan.
Terus terang bahwa teknik ini sangat powerful untuk meningkatkan konsumsi baca kita sehari-hari, penulis merasakan setelah aktif berlatih teknik skimming, dua buku tebal akhirnya bisa diselesaikan dalam satu hari, meskipun dengan susah payah.
Permasalahan kemudian muncul, teknik ini berkembang pesat dari semua
golongan dan umur. Tapi sayangnya, teknik ini secara salah kaprah
dipakai bukan untuk meningkatkan konsumsi bacaan, tetapi sebagai kambing
hitam atas kemalasan otak mencerna suatu bacaan. Nah.
Terutama jika teknik skimming ini digunakan untuk mencerna
bacaan dari sosial media. Lagi-lagi penulis harus menegaskan bahwa di
sosial media, kerja jempol kita jauh lebih cepat daripada kerja otak
kita. Apabila kedua hal tadi digabungkan yang terjadi adalah kekacauan.
Mereka, dan mungkin kita, sudah tidak peduli lagi dengan apa esensi
suatu bacaan sebenarnya. Pembuktian lagi-lagi adalah Facebook, holy
Zuckenberg! Facebook sudah berkembang bukan hanya lagi soal media
pertemanan, atau sekedar basa-basi pamer habis khatam Qur'an atau sholat
Tahajjud. Facebook sudah beralih fungsi sebagai media propaganda.
Facebook memiliki dua unsur propaganda, share tak terbatas dan body
untuk artikel. Tidak ada batasan huruf dan tidak ada batasan share.
Facebook mengizinkan semua itu. Kita berteman dengan siapapun di
Facebook dan Facebook mengizinkan apapun aktivitas kita, meskipun hanya
sekadar ber-like atau berkomentar di lapak teman A, bisa dibaca
oleh teman kita yang B, meskipun antar A dan B tidak saling kenal. Dan
tentunya oleh B di-share ke C, D dan seterusnya.
Dengan
kemampuan jelajah yang sangat luas tak mengenal batas, Facebook memiliki
kekuatan dan kecepatan tertinggi, nomor dua adalah Twitter. Dampaknya,
kita tidak berfikir soal konten, kita hampir tidak pernah ber-tabayun,
atau mengecek lagi kebenaran berita itu, kita hanya mentok pada judul
dan isi sebagian artikel. Viral sudah menjadi candu dan kita dipaksa
untuk mengikuti alur permainan sosial media: speed and spread, cepat dan menyebar.
Parahnya, hampir semua pengguna sosial media menggunakan teknik skimming dalam membaca berita yang entah di-share dari artikel atau media online. Karena apa? Karena takut kalah cepat, takut dianggap tidak update
ataupun keinginan lain seperti menjatuhkan kawan (Ya! Kawan, bukan
lawan) yang berbeda haluan politik. Sehingga apa yang di dapat tidaklah
pernah utuh satu bagian tulisan.
Kita sering lupa bahwa sosial
media sangat berbeda dengan buku fisik. Satu ciri khas: media sosial
mengizinkan adanya timbal balik. Timbal balik berupa komentar. komentar
bisa berupa hanya sekedar komentar, ide, kritik atau bahkan hinaan. Apa
yang terjadi berikutnya adalah fatal: komentar kita, yang seringkali
berupa kritik dan hinaan, sangat tidak berhubungan dengan isi artikel
aslinya.
Sering penulis merasa kasihan dengan seorang artis
sehabis posting status dagangannya lalu di komentari oleh para sosialita
hijab sebagai riya'. Padahal dia sedang berdagang. Atau penulis sendiri
yang pernah menulis soal Soekarno, justru dikomentari antek komunis dan
mendukung poligami, ketika penulis tanya balik, dijawab karena ada
tulisan Nasakom, Inggit dan Heldy Djafar. Atau ketika menulis bahwa BPK
"ngaco" lalu di cap antek etnis tertentu, tanpa membaca paragraf akhir
soal Kartini Muljadi. Tentunya ada yang salah.
Sehingga cukup sebuah kesimpulan. Tidak selamanya teknik skimming itu baik, teknik ini berbahaya diterapkan pada sosial media. Skimming
atau membaca cepat, hanya layak diterapkan pada buku, stensil, majalah
atau selebaran pamflet Pilkada. Dan butuh waktu latihan yang cukup lama
untuk bisa membaca cepat tanpa kehilangan esensi.
Bahkan untuk
buku pun, seorang Hatta pernah meminjamkan buku kepada temannya di Boven
Digoel, ketika mengembalikan, Hatta bertanya apakah temannya sudah
memahami apa isi buku tersebut. Jika belum, maka buku tersebut
dipinjamkannya kembali hingga paham. Alasannya? Apabila hanya paham
setengah atau tidak paham, dikhawatirkan justru akan membawa kepada
tindakan yang berlawanan.
Untuk para Facebook-er, Kompasianer,
Twitter dan apapun media sosial lainnya, bacalah utuh seluruh artikel
jika anda sudah membuka artikel tersebut, bacalah perlahan, pikirkan
setiap paragraf dan jangan berkomentar hingga anda betul-betul sudah
mengerti isi tulisan, dan silahkan share jika anda memang paham.
Karena
buku atau bacaan apapun, bukan hanya membuka wawasan dan informasi,
tetapi juga representasi kepada aksi nyata. Maka berhati-hatilah dalam
membaca.
Hepi wiken-
0 komentar:
Posting Komentar