Film Indonesia Ternyata Lebih Hebat Dari Hollywood



http://thekusumo.blogspot.com. Source: www.kaskus.co.id
Apa enggak salah itu judulnya? Enggak. Memang film Indonesia itu lebih baik dari Hollywood, setidaknya ketika saya kembali menonton film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang kebetulan di putar lagi seminggu yang lalu di stasiun TV.

Ada yang ajaib disana, yaitu hati yang berdesir dan gregetan di sepanjang film masih persis sama dengan empat belas tahun lalu saya tonton di bioskop. Perasaan ketika merasakan akhir dari masa putih abu-abu yang begitu melegenda, aih.

Tak dipungkiri, AADC memang starting point bagi perfilm-an Indonesia yang mati suri selama satu dekade (menurut generasi senior malah lebih dari 10 tahun). Mati karena terlalu banyak dihuni oleh film-film semi porno dengan menjual tubuh, adegan silat, adegan mesum dan tentunya horror. Jika kita flashback lagi tontonan itu di youtube, maka akan kelihatan sekali gap kualitasnya.

Zaman kami (2002) adalah zamannya AADC, zamannya kebangkitan film Indonesia. Masih ingat betul hausnya kami akan film bermutu, muak kami dengan tontonan yang ada, hingga ketika AADC mulai tayang perdana, hanya sepersekian detik ide gila muncul di otak: Bolos sekolah masal!. 

Dan hebatnya ide gila itu di amini oleh satu kelas, terhitung hanya ada tiga anak yang tidak ikut bolos. Selebihnya menjadi pengikut bisikan setan.

Mulai keluar sekolah dari memanjat tembok kantin, dengan susah payah kami mencari metromini kosong (atau yang mau dikosongkan) untuk melaju ke Pondok Indah Mall, pastinya dengan beragam insiden cek cok dengan sekolah lain yang juga kompak dengan adegan bolos masalnya. Luar biasa seru!

Perlu diingat bahwa masa 2002 adalah masa tawuran, aktifitas pengocok adrenalin yang optimal, pengasah ide brilliant kemana harus kabur tanpa harus menelan pil jenius NZT seperti film Limitless. Masa yang panas pasca reformasi, masa yang membakar akibat jatuhnya korban mahasiswa, sosok “kakak” ideal kami. Dan disaat masa-masa penuh pergolakan itu, hadirlah film cinta.

Cinta yang bagi sebagian kami hanya diperuntukkan bagi manusia bertampang keren, perlente yang membawa mobil atau motor ke sekolah, bisa kami rasakan di dalam metromini jurusan kebayoran - pasar bintaro.

Bayangkan teman, kami yang garang seakan larut dalam hegemoni baru, cinta. Film bermutu yang membuat kami mendadak unyu, kami yang emosional, berlomba berpacu jantung hari demi hari seakan luluh hanya dalam waktu 2 jam saja. Dan dari situ kami yakin, bahwa cinta adalah obat terbaik bagi penyakit jantung.

Esok harinya, kami seakan tidak peduli dengan omelan guru di kelas, potongan nilai budi pekerti (BP) atau surat panggilan orang tua. Aneh kan, pemanggilan orang tua murid saat itu seperti pembagian raport, karena saking banyaknya orang tua yang datang. Sudah bisa ditebak akhir pilu kami di hari itu.

Tapi kami bahagia, luar biasa. Efek film tersebut seperti mariyuana dalam dosis tinggi. Beberapa lelaki tanggung dan kurus langsung merubah rambutnya menjadi kriwel, menyipitkan matanya dan doyan berkata “ini prinsipil !”.

Kami, si para lelaki tanggung nan kurus, sebetulnya hanya ingin di komentari oleh para wanita, “ih ngapain si matanya digituin, biar mirip rangga yaa..GAK MIRIP!”. Dan anehnya, kami senang, padahal itu kan ledekan. Dalam konteks yang absurd, keinginan seperti itu adalah idiom gila remaja yang berpengalaman ditolak cinta.

Sungguh luar biasa efek pasca nonton film itu. Dan bukan hanya seminggu dua minggu, tapi hingga kami lulus. Ijazah adalah obat kami untuk sadar kedunia nyata. Oh ya, bukan hanya film, tapi juga lagu-lagunya.

Ada seorang kawan yang maniak pada grup musik Motorhead, Sex Pistols ataupun Marlyn Manson, tiba-tiba bersendandung “Diatas bumi ini..ku berpijak..”.  Sungguh sangatlah tidak pas dengan tipe wajahnya yang garang, codet dan gelang kawat di tangan.

Aneh, tapi ini fakta, tidak ada yang saya tambah-tambahkan dari cerita di atas, semua memang seperti itu. AADC telah menyihir kami, kami yang bangga dengan title “generasi 90’s” harus mengakui kami menjadi generasi “90+00’s”.

Ternyata efek tersebut belum hilang. 13 tahun kemudian ketika kami mendapat teaser adegan Rangga dan Cinta dalam iklan Line, jangan ditanya ramainya di grup SMA, mengetik sambil mengendong anak: “ini a a de ce mau ada lagi ya?”. Beberapa terbawa perasaan, perasaan katika ditolak cinta masa lalu tentunya.

Dari mulai tahun itulah film-film bagus Indonesia mulai bermunculan hingga saat ini, judul-judul seperti “Laskar Pelangi”, “Habibie & Ainun”, "The Raid", “5 Cm” hingga “Filosofi Kopi” yang kekinian mulai bermunculan. Namun dari 2012 film Indonesia kembali di teror oleh film-film horor, cinta komedi dan semi porno.

Entah kemana idelisme sineas-sineas ini, Beberapa  hanya mengejar “asal tayang” dan “laku di pasaran”, sejalan dengan munculnya generasi alay. Ada yang masih belum sadar bahwa di Indonesia, film erat dengan pengaruh prilaku.

Di Indonesia ini jelas unik, perbandingan nyata dengan Hollywood, yang menurut pandangan pibadi, dari sisi influence behavior atau pengaruh prilaku. Di Indonesia, film memberikan pengaruh kepada gaya hidup dan budaya. Sedangkan di Amerika, gaya hidup dan budaya Yankees di serap dalam film Hollywood dan menjadi tugas Hollywood menyebarkannya ke dunia.

Disinilah kehebatan film Indonesia dibanding Hollywood. Oke, untuk memperkuat analisa, saya coba bertanya pada rekan yang asli Connecticut, USA. Sebelum bertanya saya cerita dulu tentang bagaimana efek film Indonesia kepada gaya hidup, dan apakah ada film Hollywood yang seperti itu.

Jawabannya sesuai perkiraan, kebanyakan film Hollywood lah yang mengambil gaya hidup Amerika, seperti serial "Friend", dan orang Amerika senang sekali jika bisa menyebarkan budaya mereka dan memberikan gambaran Amerika era dulu (Titanic, The Revenant dan film ala Koboi) dan masa kini. Selebihnya adalah film fantasi.

Jauh berbeda dengan efek yang di dapat di Indonesia. Film, film serial (FTV) ataupun sinetron dan sebagainya adalah media perangsang gaya hidup yang paling potensial. Bayangkan jika ini gagal, berapa generasi muda harus takluk dalam genggaman budaya tak bermutu?

Meskipun AADC dari sisi budaya pun tidak terlalu mendukung, tapi di akhir cerita, cukup banyak mempengaruhi para generasi kami yang minat bersekolah di luar negeri, sayang saya tak punya datanya. Tapi saya yakin meningkat.

Inilah mengapa film Indonesia lebih hebat dari film Hollywood. Di Indonesia, film dan televisi lah yang berperan dalam perkembangan budaya. Contohnya generasi kami yang tersihir dengan AADC. Mana ada di Amerika film yang influence-nya ke masyarakat sebesar AADC. Setidaknya ini pendapat saya.

Alangkah sedihnya jika para adik-adik kita ini diberikan acara sampah “Ganteng-ganteng Anak Macan” atau dalam satu serial sinetron silat yang tiba-tiba ada Batmannya.

Sehingga kami mohon kepada para sineas, ciptakanlah sebanyak mungkin film-film berkelas seperti “Petulangan Sherina”, “Cahaya dari Timur: Beta Maluku”, “Laskar Pelangi”, “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”, “Sang Pencerah” ataupun "Surat dari Praha". Hentikan omong kosong sinetron dan film yang asal jadi, biaya murah dan menjual tubuh. Itu sudah tidak laku. Apa harus ada aksi boikot untuk film-film seperti itu?

Jika ingin tetap ada adegan menjual tubuh, kemaslah sekelas “Basic Instinct” sehingga kami yang dewasa ini dapat menikmati, dengan tetap mendapat kualitas yang baik. Bukannya begitu?

Eh..

Hepi wikken

*Artikel dimuat di Healine Kompasiana Disini

1 komentar:

  1. Wah saya jadi ingin nonton itu mas, sy suka surat dari Praha ya..salam

    BalasHapus