Hujan di Victoria Park

https://thekusumo.blogspot.com
Dengan berwajah datar, wanita itu masuk ke sebuah café di pojok kota yang tampak lelah, di sore selepas bercinta dengan nasib. 7th Avenue St Manhattan, terpampang jelas di depan café. Hanya dengan melihat wajahnya, sang barista dengan sigap langsung tahu apa yang harus dia lakukan, secangkir Flat White.

“With two pieces brown sugar, right?”

“Yes, please”

Flat White, kopi yang puitis, jenis kopi yang selalu menggelegak dalam penatnya, kadang membuatnya tertawa, kadang membuatnya beraroma penguk dalam hilir mudik kota, kadang membuatnya hanya ingin muntah, ya hanya ingin muntah. 

Wajar saja, historis kota ini sudah dihapalnya dengan baik, dan itu tidak ada yang membuatnya merasa normal, kadang memang harus gila mungkin. Tapi toh aku hidup, begitu pikirnya, jadi lebih baik di muntahkan saja.

Tapi kali ini, dia tak lagi berwajah datar, sahut teman sang barista. Lihatlah, ketika tadi masuk, dia berwajah datar, sedatar nama kopinya, tapi lihatlah sekarang, dia bagai awan kelabu tercoreng garis pelangi, seperti mendung tersirap surya.

Ah, pikir sang barista. Eh, tapi benar juga.

Flat White?” Tanya sang lelaki yang dihadapnya.

“Ya, betul, darimana kau tahu?” ujar Kenanga.

“Kau cemburu ya?”

“Hah, aku mati rasa!”

“Tak, kau cemburu, karena aku tahu nama kopimu padahal aku belum tahu namamu”

Setan!, lebih baik kuhirup cocktail bersama temanku tadi daripada aku berhadapan dengan dia, lelaki itu, pikirnya. Sudah tiga hari Kenanga bersamanya di setiap sore. 

Kemarin lusa, lelaki itu hanya berbicara soal indahnya Victoria Park, kemarin, giliran Kenanga yang bercerita soal masa lalunya di pengasingan, dan juga cerita yang sama dari lelaki berambut ikal itu.

Tiga hari, tanpa pernah memperkenalkan diri satu sama lain, entahlah mungkin esensi dunia modern yang rumit sehingga apalah arti nama jika masih bisa bercerita dan tentunya bercinta.

Lelaki itu menyuruput kopinya yang entah mengapa berbau anyir.

“Kau tahu, aku ingin..”

“Aku tahu, kau ingin ke Victoria Park kan?” Potong Kenanga.

Namun sedetik kemudian, Kenanga tiba-tiba merasa kikuk, dia merasa tak enak telah memotong ucapan lelaki itu, karena lelaki itu mengucap “Victoria” bagai mantra dukun minta hujan, diucapkan perlahan, khusyuk, dengan kecupan bibir dan mata terpejam.

Dua hari, tak ada kalimat lain selain Victoria Park. Lelaki yang absurd, tapi mengasyikkan, selama tiga hari ini dia merasa mendapat teman untuk mengarungi keabsurdan imajinya.

“Sudah tiga hari kita bertemu, tapi kau selalu berucap demikian” ujar Kenanga.
“Apakah kau pernah ke Victoria Park?”

“Belum, aku hanya melihatnya di tumpukan email-email kosong di kandang kecoa” jawab sang lelaki.

“Ah, taman yang begitu apik, begitu rindang, luas, bahkan jiwaku rela oncat dari raga untuk menyusuri setiap lekukannnya”

“Tapi.. ketahuilah, aku bahkan sudah mencium baunya!, aku rasakan rintihan anginnya, semerbak wanginya, aku kalbukan pikiranku..”

“Dan mungkin, disana bersemayam arwahku yang sekarang ini. Mungkin” ujar lelaki itu lirih.

Bicaralah terus, bicaralah. Kau membuatku melayang wahai Dermaga. Lihatlah, aku bahkan tahu namamu sebelum aku tahu nama kopimu yang anyir.

Bicaralah, kau betul-betul membuatku basah. Pikir Kenanga sambil menggeliat.
“Karena itu, aku ingin ke Victoria Park”

“Pergilah Dermaga, apa yang sulit bagimu jika hanya ke Victoria Park, bahkan ke ujung dunia pun kau sanggup. Victoria Park hanya masalah kecil buatmu”

Cangkir kopi itu tiba-tiba miring, tangannya mengepal, lelaki itu seperti kehilangan kendali. Pemandangan yang tak biasanya karena selama dua hari yang lalu lelaki ini begitu tenang.

“Hanya?..hanya?..Kau pikir "hanya”?! itukah hasil pendidikan modern mu selama ini, mencetak pemikiran instant, tanpa perasaan. Pertemuan sejak kemarin, ceritaku soal Victoria Park, lalu kau anggap dengan “Hanya”?” spontan lelaki bernama Dermaga itu seperti tersihir, matanya bagaikan api neraka menjilat tubuh orang munafik.

Kenanga menatap tajam, dia tidak merasa takut sedikitpun, justru dia merasa aneh. Entah apa yang dilihatnya, dia melihat bayangan setengah, agak kabur namun jelas terasa dalam kuduknya. 

Bayangan yang selalu ada di samping lelaki tersebut selama tiga hari pertemuannya, bayangan yang tak pernah disadarinya, namun sekarang dia melihatnya.

Namun, Kenanga tak berani berkata-kata. Dermaga, lelaki tiga hari itu, dia hanya tertunduk namun tidak menangis. Dia lamat menatap kopinya yang mengendap, lamat-lamat kedalam kopi, yang entah mengapa semakin berbau anyir.

Lelaki itu pun pergi, tanpa berucap pada Kenanga yang kembali berwajah datar. Yah datar, namun setidaknya dia akhirnya tahu nama kopi itu, sama.

Victoria Park

“Cepatlah!! Letakkan diujung pohon itu”.

“Apa yang telah aku lakukan!”

“Sudah jangan pikirkan, nanti saja. Sekarang urusan kita belum selesai, kau tidak akan bisa pulang ke negerimu sendiri jika kau macam-macam denganku!”

“Kau disini kerja, dasar babu!. Sekarang letakkan diujung pohon sana, atau aku akan berbuat nekat”

Ketakutan dihinggapi oleh seorang wanita berparas ayu berkulit kecoklatan, tangannya kasar seperti pejuang gerilya jaman Jendral Sudirman, dia membawa kotak berwarna coklat, tangisnya sudah tak berasa dan tak terlihat akibat tersapu hujan yang tak pernah berhenti.

Oh, lelaki berkulit putih itu masih terus berteriak-teriak, memaki-maki dan kali ini bersiap menjambak rambut. Namun wanita itu masih terus bertahan.

“Cepat letakkan, nanti pasti ada yang akan mengambil. Sudahlah ayo kita pergi!, cepat”

“Sebentar!!, aku hanya ingin ini!” ujar wanita itu dengan terisak.

Dibukanya kotak coklat itu dengan tangannya yang kasar dan basah, dengan tergesa wanita itu menulis sesuatu di selembar kertas putih yang sudah ia siapkan dari rumah tadi. 

Tulisan yang akan berarti bagi bayi mungil yang sedang tertidur lelap.

“Dermaga, ini namaku”


--------------------------------------------------------
Bagi para diaspora Indonesia, teruslah berjuang.


*Dimuat di Kompasiana, disini

0 komentar:

Posting Komentar